Oleh: Muklisin Raya Al-Bonai
Kata ‘baca’ identik dengan ilmu. Dalam
menuntut ilmu, tidak bisa kita tepis bahwa kata ‘baca’ dan seterusnya
‘membaca’ sangat memiliki peran besar dan memberikan kontribusi cara
atau metode dalam proses mendapatkan ilmu tersebut. Sepertinya membaca
adalah cara lama dalam belajar dibandingkan cara-cara modern (menonton
TV, mendengar radio), tapi tidak kalah ‘jagonya’ telah mengantarkan para
ilmuan terkenal tardahulu yang masih hidup ilmunya disaat ini, yang
dulu mereka dalam menuntut ilmu atau belajar hanya dengan cara membaca,
menghafal atau mendengar.
Mari kita intip pepatah antik “Membaca
adalah jendela dunia.” Siapapun yang ingin membuka rahasia dunia ini
seluas-luasnya, maka ia harus membuka jendela dunia tersebut dengan
‘membaca’. Tidak bisa dihindari bahwa dengan membaca bisa membuka
sesuatu yang belum kita ketahui, menjadi penerang dalam kegelapan ‘buta’
ilmu penetahuan, menambah wawasan. Yang terpenting menjadikan kita
pribadi-pribadi yang dinamis dan berkualitas tinggi.
Lebih menarik lagi kita melirik situs
pepatah yang juga tak kalah uniknya “Reading is the key”. Membaca adalah
kunci hidup sukses. Kunci hidup makmur. Kunci hidup berjaya dan maju.
Seperti yang pernah dikatakan oleh duta baca nasional Tantowi Yahya yang
intinya bahwa jika kita tidak membaca, berarti tidak membaca pangkal
kebodohan, kebodohan pangkal kemiskinan.
Oleh karena itu, suatu bangsa, negara atau
umat, jika ingin maju haruslah banyak membaca. Kemajuan atau kemunduran
suatu negara dapat dilihat dari minat baca rakyatnya. Jika tingkat minat
bacanya tinggi, maka negara tersebut merupakan ciri-ciri negara yang
maju. Bahkan negara itu memiliki dedikasi dan disegani oleh
negara-negara lain. Karena apa? Karena meraka lebih banyak membaca.
Sebaliknya, jika minat bacanya rendah, kemajuan dan kejayaan akan sulit
tercapai, karena membaca merupakan ilmu, jika kita tidak memiliki ilmu,
maka secara otomatis kita dalam ‘kekaraman’ yang nyata.
Sebuah penelitian yang pernah dipublikasikan
oleh majalah Al-Furqan edisi 367 oleh Isa Al-Qadumi dalam suatu studi
banding dilakukan untuk mengetahui persentase rata-rata aktivitas
membaca manusia di seluruh dunia. Hasilnya menyatakan bahwa persentase
rata-rata bacaan seorang laki-laki yang bekerja di toko dan pekerja
biasa di Jepang adalah 40 buku setahun. Sementara ditengah masyarakat
Eropa adalah 10 buku dalam setahun. Adapun di Dunia Arab adalah
sepersepuluh buku dalam setahun. Berarti, ia memmbaca 20 halaman dari
buku yang jumlah halamannya sekitar 200 halaman dalam setahun. Sementara
di Indonesia belum diketahui secara pasti, karena tidak seluruh
warganya selalu membaca buku. Masih sulit untuk mengukurnya dan menjadi
tanda tanya besar bagi kita semua.
Segala sesuatu ada ilmunya, demikian pula
untuk memajukan suatu negara, bangsa, umat. Jika tidak tahu ilmunya
dikarenakan tidak membaca, maka sesuatu yang tidak kita ketahui akan
menjadi musuh. Muhammad bin Husen berkata, ”pelajarilah oleh kamu
berbagai macam ilmu, karena musuh setiap orang itu adalah apa yang tidak
ia ketahui.”
Hari ini, justru kebiasaan membaca inilah
yang kurang kita indahkan, yang kita abaikan. Tidak heran jika negara
yang kita tempati belum mengecapi perubahan dan kemajuan yang nyata dari
berbagai sendi kehidupan. Keterpurukan dimana-mana, tapi minat baca
malah lebih terpuruk. Kita tidak saja sedang krisis ekonomi, tapi krisis
minat baca. Pada dasarnya dengan membaca kita bisa lebih membaca
situasi ekonomi yang baik, begitu juga politik, sosial, dan yang sangat
penting Agama sebagai jalan lurus yang nyata.
Pada dasarnya negara maju telah menerapkan
budaya membaca, karena mereka paling tahu kunci kemajuan, yaitu membaca.
Dr. Raghib As-Sirjani mengatakan bahwa membaca adalah proklamasi yang
menghapus sifat “ummiyah” (tidak dapat membaca dan menulis). Membaca
merupakan kunci ilmu dan pengetahuan. Membaca adalah jalan kita menuju
kemajuan dan kejayaan. Jadi, jika suatu negara ingin sukses dan maju,
harus banyak membaca.
Keterpurukan ini memang nyata, namun suara
‘pembebasan’ ini akan lebih berarti jika kita menyadari akan pentingnya
membaca. Kebiasaan membaca yang baik ini sudah mulai pudar, tidak hanya
menyerang kalangan rakyat biasa, akan tetapi sudah menyebar dikalangan
para ‘pecinta ilmu’ atau ‘intelektual’ pelajar dan mahasiswa perguruan
tinggi. Suatu fakta menggelitik yang penulis dikutip dari Muhammah bin
Husen dalam bukunya Baca Yuk...! menjelaskan bahwa ada sebuah penelitian
yang dilakukan oleh seorang mahasiswa terhadap semua alumni di sebuah
perguruan tinggi. Ia ingin mengetahui sejauh mana hubungan setiap
mahasiswa dengan buku. Hasilnya cukup megejutkan, ternyata 72% dari
alumni tersebut tidak pernah sekalipun meminjam buku dari perpustakaan
yang ada di kampus selama dia meyelesaikan kuliah di perguruan tinggi
itu. Tidak diragukan lagi, hal ini merupakan ‘bencana luar biasa.”
Kesadaran untuk membaca memang bisa
meningkat dan menurun sesuai dengan persepsi dan motivasi para
pembacanya. Kita menyayangkan jika minat baca disuatu negara mengalami
krisis yang akan berakibat terhadap kemajuan dari berbagai sendi
kehidupan lainnya. Namun sangat disayangkan lagi, jika kebiasaan membaca
ini hanya sebatas hobi, pelipur lara, atau menghilangkan kebosanan.
Memang kita tidak harus membuat statement bahwa ini pekerjaan sia-sia,
tapi apa sebenarnya makna ‘membaca’ ini bagi kita? Mari kita bersama
luangkan waktu sejenak memikirkan hal ini. Pada hakikatnya membaca bukan
sekedar hobi. Sekali lagi bukan hobi. Akan tetapi lebih dari itu,
membaca merupakan kebutuhan bagi kita.
Kita memang butuh membaca. Dalam
mempelajari, menelaah, terlebih lagi dalam menuntut ilmu kita harus
membaca. Membaca adalah kubutuhan seperti butuhnya kita untuk makan,
jika seorang pelajar dan mahasiswa dalam belajar ia butuh membaca, ia
lapar tanpa membaca, ia tidak tahu apa-apa tanpa membaca. Sampai-sampai
ada seorang dosen yang mengatakan,”buku (membaca) adalah nyawanya
mahasiswa, artinya matinya ilmu mahasiswa itu kalau ia tidak punya buku
atau membacannya.” Bisa kita bayangkan, betapa butuhnya kita dalam hal
membaca. Maka membaca bukan hobi, tapi kebutuhan. Butuhnya kita dengan
membaca sama dengan butuhnya kita dengan makanan. Ini dinyatakan oleh
Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Spritual Reading, bahwa membaca
bukan sekedar hobi, tapi merupakan kebutuhan. Kebutuhan kita dalam
membaca seperti kebutuhan kita terhadap makan dan minum.
Dari paparan diatas tentunya kita tahu
kedudukan dan arti membaca bagi kehidupan kita. Sekarang tergantung
kepada individu itu sendiri, apakah ia butuh jendela untuk melihat dunia
dengan luasnya wawasan cakrawala dengan ‘membaca’ atau ingin membuka
kesuksesan dan kemajuan dengan kunci ‘membaca’ atau sama sekali tidak
mengambil sesuatu apa pun dari semua itu.
Tidak terlepas dari peran individu dari
suatu bangsa, terutama bangsa Indonesia tercinta, akan tetapi tindakan
nyata dari pemerintah yang memiliki cita-cita mulia mencerdaskan
kehidupan bangsa, ya salah satunya dengan memberikan dukungan moril
maupun materil untuk menigkatkan minat baca rakyat Indonesia.
Sebuah pertanyaan aneh, tapi nyata yang
kerap ganggu tidur penulis, akankan ada hari ‘membaca nasional’? Semua
orang ‘diwajibkan’ membaca di mana saja berada (di rumah, sekolah, di
bus, di terminal, di pesawat, di taman, di kantin) selama satu hari
penuh, baca koran gratis, bagi-bagi buku gratis. Ini bukan mimpi, tapi
seharusnya menjadi salah satu program pendidikan yang nyata. Kita semua
juga tahu membaca itu bisa dilakukan setiap hari, tapi mengapa harus ada
hari khusus? Apa tidak menambah libur nasional?
Sebaiknya kita balik bertanya, bukankan
setiap kejadian penting, bersejarah bahkan sesuatu yang kurang logis
sekalipun juga tercantum dalam libur nasional ataupun yang tidak
tercantum, tapi juga diperingati? Misalnya, kita dari hal yang sangat
penting dan bersejarah yang di peringati harinya yaitu; hari kemerdekaan
RI, hari sumpah pemuda, hari Ibu Kartini, hari Ibu, hari Pendidikan
Nasional, perayaan hari raya Agama, hari AIDS sedunia, hari AIR, dan
masih banyak lagi hari-hari yang diperingati, yang belum ada dalam
daftar tersebut hanya ‘hari baca nasional’. Ini menjadi pertanyaan
tersendiri bagi kita bahwa motivasi dan minat baca masih belum tinggi
dibandingkan negara-negara lain. Ini benar-benar keadaan yang ‘luar
biasa’ memprihatinkan. Mari kita belajar sesuatu yang baik dan berharga
dari orang lain, jelasnya negera-negara maju. Misalnya, kebiasaan baik
orang jepang adalah membawa dan membaca buku kemanapun mereka pergi,
seperti di dalam bus, kereta api, di kantor, di rumah, di pesawat dan di
taman.
Pada dasarnya orang cinta akan ilmu, mereka
akan belajar baik dengan membaca buku-buku maupun membaca keadaan dan
peluang yang ada. Mereka sangat menghargai buku sebagai ladang ilmu,
membacanya, bahkan terkadang uang makan mereka alihkan untuk membeli
buku. Dr. Raghib As-Sirjani mengatakan bahwa orang yang tahu nilai suatu
buku, ia akan mengambil jatah makan dan minumnya untuk membeli buku.
Sebaik-baik kekasih dan teman adalah buku. Membawa buku adalah bagian
dari kewibawaan.
Lebih lanjut kata-kata indahnya dalam hal
membaca juga lantunkannya dengan rapi. Ia mengatakan bahwa orang yang
gemar membaca akan sulit dikalahkan. Membaca bisa menemukan rasa percaya
diri. Membaca dapat memperluas wawasan, memperkaya hati, menajamkan
pikiran, melancarkan bicara, dan memberikan inspirasi. Hal yang sangat
menarik lagi bahwa kata ‘baca’ dan perintah membaca adalah wahyu yang
pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW.
Dengan bijak kita telah bisa menelaah secara
nyata tentang penting dan makna membaca dalam kehidupan ini. Kita
renungkan bersama lagi, bahwa tidak ada alasan untuk tidak memulai
membaca. Membaca adalah kebutuhan yang harus kita penuhi. Membaca, kita
memang tidak boleh tidak membaca. Kalau kita tidak membaca, kapan
perubahan itu akan terjadi? Kapan kemajuan itu nyata? “Reading is the
key” atau Iqra’. Baca, baca dan baca.
Muklisin Raya Al-Bona/www.klik-albonai.com
Alumnus UIN SUSKA RIAU/Jurusan Bahasa Inggris
FLP Pekanbaru
Founder RUMAH PINTAR ADZKIYA AL-BONAI
PENULIS-VATOR PULUHAN BUKU, LOKAL DAN NASIONAL
0 Response to "Banyak ‘Membaca’ Kunci Negara Maju "
Posting Komentar